︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎ ︎︎
1931.
︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎
Untuk siapa pungkur-pungkur lebu itu bergolek di serambi, tidak ada yang tahu. Pula Abimanyu yang menyeka debu bertimpangan pada besikal, ujung jemarinya kesat bergesekan menjadi abu-abu. Buru-buru Abimanyu mengambil kain lusuh, dengan telaten menggosok-gosok jenjang besi sampai kalis. Karenanya, setelah mematut diri pada pantulan jendela—membenahi letak kopiah, menepuk-nepuk surjan, membetulkan kerah baju—barulah si Abimanyu itu berangkat menjemput Jumat paginya.
Keluar dari gapura lengkung dengan gambaran lingkar berwarna hijau, sepeda Abimanyu mengambil arah timur menuju Jalan Masjid Gedhe, kemudian belok kiri pada Alun-Alun Utara. Beberapa saat setelahnya, hawa sejuk ruas jalan Nieuwe Wijk menyambut Abimanyu dengan tatanan radial serupa kota-kota Netherlands. Matanya rancung menyelidik awas saat roda-roda sepedanya menggilas bebatuan Jalan Kerkweg.
Pada jembatan yang menghubungkan seberang timur dan barat Sungai Code itulah Abimanyu mesam-mesem menyadari seorang gadis berdiri membelakangi jalan. Abimanyu lekas menepi.
“Kalau sendirian begini Jumat pagi, biasanya ada yang suka membawa kabur gadis-gadis cantik.”
Anak dara itu berbalik. Maniknya yang hitam mendelik garang pada Abimanyu. “Kalau begitu, kau yang suka membawa kabur. Betul?” sergahnya seraya berkacak pinggang. Akan tetapi, acap rautnya bertukar-tukar dengan senyum semringah bersamaan pendar matanya berbinar-binar cerah. “Kemana saja Kangmas, heh? Betah kau bergaul dengan noni-noni itu?”
“Aih, cemburu kau, Utari?” Abimanyu tergelak ketika Utari menubruknya dengan sebuah pelukan. Tubuhnya bergoyang ke kanan-kiri sebab Utari boleh jadi membagi rindunya yang ditinggal kabur Abimanyu dua pekan ke Batavia. “Sudah. Cepat naik. Malu kalau-kalau dilihat kawanmu nanti.”
Utari beringsut ke boncengan, menyingkap jarik dan luwes melingkarkan lengan pada Abimanyu. “Kangmas memakai peci dan lurik tenun dariku! Aku senang betul.” kata Utari begitu sepeda Abimanyu kembali melaju.
Pohon-pohon rindang bersinambung memanjakan tapal bulevar. Langit begitu kebiruan disepuh seleret awan-awan putih dan burung-burung liar. Kembang-kembang elok lincah berayun-ayun membayangi pertalian kasih dan debaran-debaran asing.
Ia tidak bohong taruh kata hatinya barang lima puluh kali memuja-muji Utari yang tampak jelita direngkuh singgung kebaya putih dengan berbunga-bunga ornamen brokat yang menawan. Di bawah marak pijar matahari surai hitam Utari yang digelung meliuk tersepah angin-angin menambah citra ayu jua bibirnya yang ranum bergincu. Matanya berkelapan memesona dimandikan lekuk-lekuk asfar yang membias.
Bukannya percaya diri, cuma kok ya Abimanyu paham betul Utari tiada pernah bersolek lebih seperti dulu kemarin. Boleh jadi untuk menadah kedatangannya, atau mana tahu sekedar ingin memuaskan diri sendiri. Yang mana-mana, Abimanyu tetap berpegang teguh pada anggapan cantik Utari selalu nyata wujudnya.
“Ah. Ini karena sudah habis saja sarungku di lemari—lantas teringat surjan amalanmu ini,” seloroh Abimanyu mengerling jahil. “Aduduh! Biyung! Kok ya aku dicubit begini?”
Utari memberengut. “Mana mungkin! Pasti surjan ini sudah dipakai berminggu-minggu. Betul apa betul?”
“Sok tahu betul Nyimas Utari. Berguru di mana, yayi ini?”
“Haish. Nyimas darimana? Licin tulen kau ya selagi minggat ke Batavia.”
“Hloh, asli itu. Nyimas Utari ‘kan sejatinya telik sandi piaraan Mataram. Apa bedanya dengan yayi?” Abimanyu terpingkal-pingkal. Memang kurang ajar Abimanyu itu, jadilah sepedanya hampir tumbang karena cubitan pedas Utari pada pinggangnya. “Aduduh! Mohon ampun! Welah dalah, bisa jatuh kita nanti, Utari!”
Utari tertawa-tawa. Sepedanya tidak jadi rubuh, karena Utari sekonyong-konyong merebahkan kepalanya pada punggung Abimanyu. “Jangan samakan aku dengan Nyimas Utari. Tak mau aku.”
“Lo, kenapa begitu? Nyimas Utari suri tauladan begitu mengapa yayi tak mau?”
“Utari yang itu bukan bersuamikan Abimanyu, to, Kangmas?”
Jitu. Abimanyu hampir-hampir jumpalitan bilamana tak ditutup-tutupi gembiranya. “Sendika, Ndoro Putri. Berarti wajib hukumnya bersuami Abimanyu, nggih?”
“Leres.”
“Abimanyu yang mana, kalau boleh tahu?” sahutnya lagi. “Takutnya kok tertukar-tukar dengan Abimanyu-Abimanyu lain. Siapa tahu saja lho ini, Ndoro.”
Utari menahan senyumnya. “Abimanyu yang di Kauman. Kenal Kangmas dengan dia?”
“Wah, bukan kenal lagi, yayi. Memang Abimanyu yang itu ngguanteng menurut orang-orang.”
“Orang-orang mana kalau boleh tahu, Kangmas?” Utari mengerutkan alisnya.
“Orang-orangan sawah, yayi.”
Begitulah lepas terbahak-bahak Utari, gemas menghadiahi Abimanyu dengan cubitan-cubitan kecil lainnya. “Aduuuh. Sudah! Penat aku ini. Baiknya Kangmas turunkan saja Utari di sini!”
“Oh begitu rupanya. Utari memang berniat lekas-lekas menjauh. Paham, paham betul, yayi Utari.”
“Eh, loh, bukan begitu!” Utari merengut. “Itu lo, Kangmas. Sudah mau sampai kita ini. Nanti aku tinggal berjalan sedikit.”
“Wah, mana bisa, Ndoro Putri. Pangeran berkuda biasanya mengantar sampai tujuan, benar?”
“Pangeran ontel kau itu! Nah, sudah ini. Sudah sampai. Ayoh, biar aku turun.”
Di persimpangan Boulevard Jonquiére dan Sultansboulevard Abimanyu menyingkir. Utari turun pelan-pelan dari sadel belakang, kini berdiri pada sisi Abimanyu yang masih bertengger di atas sepeda. Mendapati Utari yang menautkan ujung jemari mereka, Abimanyu tersenyum lembut. “Masuk, yayi. Sudah ditunggu.”
Utari mengendikkan kepala sekenanya ke belakang, rasa-rasanya makin enggan untuk masuk. “Tak bisakah kita berkeliling saja…”
“Loh, mana mungkin aku berbohong pada Papamu, Utari.” Abimanyu melepaskan tautan, lari jemarinya pada bingkai adun si dara. “Nanti masih bisa bertemu, benar? Selepas salat Jumat, aku milikmu seutuhnya. Ya?”
Merekah bibir delima Utari mendengarnya, menyentuh tangan Abimanyu yang menyusuri pualam wajahnya. “Janji?”
“Janji.”
Tentang apakah mereka saling bertanya-tanya, tidak ada yang tahu. Begitupun Abimanyu, yang lekat renungannya menimang kepergian Utari. Begitupun Utari, yang berbalik dan lenyap di balik khanah serta lantunan tembang-tembang misa Gereja Katolik Santo Antonius Kotabaru.
︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎
︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎ ︎︎
Dalam epos Mahabharata, Raden Abimanyu putra Arjuna dan Dewi Utari putri bungsu Prabu Matswapati adalah sepasang suami-istri. Saat usia kandungan Dewi Utari sembilan bulan, Abimanyu gugur di Kurukshetra atau perang Bharatayudha. Utari kemudian melahirkan Parikesit, putra mereka, di Astina.
Pada versi pewayangan Jawa, perkawinan Abimanyu dan Utari dipenuhi muslihat. Ketika keduanya masih pengantin baru, Kalabendana datang menjemput Abimanyu untuk dibawa pulang karena istri pertamanya, yaitu Siti Sundari putri Kresna merindukannya.
Abimanyu langsung bersumpah di hadapan Utari bahwa dirinya masih perjaka dan belum pernah menikah. Jika ia berdusta, maka kelak ia akan mati dilibas senjata. Kelak dalam perang Bharatayudha, Abimanyu benar-benar tewas dalam keadaan dikeroyok musuh.